Cinta tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Tetapi menurut Ibn Qayyim, cinta
dapat dirumuskan dengan memperhatikan turunan kata
cinta, mahabbah,
dalam bahasa Arab. Mahabbah berasal dari kata
hubb.
Ada lima makna untuk akar kata hubb.
Pertama,
al-shafâ wa al-bayâdh, putih bersih. Bagian gigi yang
putih bersih disebut habab al-asnân.
Kedua,
al-‘uluww wa al-zhuhûr, tinggi dan tampak. Bagian tertinggi
dari air hujan yang deras disebut habab al-mâi. Puncak gelas atau cawan disebut
habab juga.
Ketiga,
al-luzûm wa al-tsubût, terus menerus dan menetap. Unta
yang menelungkup dan tidak bangkit-bangkit dikatakan habb al-ba’îr.
Keempat,
lubb, inti atau saripati sesuatu. Biji disebut habbah
karena itulah benih, asal, dan inti tanaman. Jantung hati, kekasih, orang yang
tercinta disebut habbat al-qalb.
Kelima,
al-hifzh wal-imsâk, menjaga dan menahan. Wadah untuk
menyimpan dan menahan air agar tidak tumpah disebut hibb al-mâi.
Marilah kita ukur kecintaan kita kepada Rasulullah saw dengan lima hal di
atas.
Pertama, cinta ditandai dengan ketulusan, kejujuran, dan kesetiaan. Anda
tidak akan mengkhianati orang yang Anda cintai. Jika Anda mencintai Rasulullah
saw, Anda akan tetap setia kepadanya. Anda tidak akan mencampurkan kecintaan
Anda kepadanya dengan motif-motif duniawi. Anda akan memberikan seluruh
komitmen Anda.
Rasulullah saw pernah menguji kecintaan sahabat sebelum perang Badar. Kepada
para sahabat dihadapkan dua pilihan: Menyerang kafilah dagang yang dipimpin Abu
Sufyan atau menyerang pasukan Quraisy. Kebanyakan sahabat menghendaki kafilah
dagang karena menyerang mereka lebih mudah dan lebih menguntungkan. Nabi saw
menghendaki musuh yang akan menyerang Madinah dan berada pada jarak perjalanan
tiga hari dari Madinah.
Allah Swt berfirman,
“Dan ingatlah ketika Allah menjanjikan kepadamu
dari kedua kelompok, yang satu untuk kamu, tetapi kamu menginginkan yang tidak
mempunyai senjata untuk kamu. Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar
dengan kalimat-Nya dan menghancurkan pusat kekuatan orang-orang kafir.” (QS.
Al-Anfal : 7).
Rasulullah Saw bersabda:
“Tuhan menjanjikan kepada kalian dua pilihan
–menyerang kafilah dagang atau menyerang pasukan Quraisy” Abubakar
berdiri, “Ya Rasulallah, itu pasukan Quraisy dengan bala tentaranya. Mereka
tidak beriman setelah kafir dan tidak akan merendah setelah perkasa.” Beliau
menyuruh Abu Bakar duduk, seraya berkata,
“Kemukakan pendapatmu kepadaku.”
Umar berdiri dan mengucapkan pendapat sama seperti pendapat Abu Bakar.
Rasulullah saw pun menyuruhnya duduk kembali.
Kemudian
Miqdad berdiri, “Ya Rasul Allah, memang itulah Quraisy dan bala
tentaranya. Kami sudah beriman kepadamu, sudah membenarkanmu, dan kami bersaksi
bahwa yang engkau bawa itu adalah kebenaran dari sisi Allah. Demi Allah, jika
engkau memerintahkan kami agar kami menerjang pohon yang keras dan duri yang
tajam, kami akan bergabung bersamamu. Kami tidak akan berkata seperti Bani
Israil kepada Musa –Pergilah kamu bersama Tuhanmu, beperanglah kalian berdua,
kami akan duduk di sini saja. Tetapi kami akan berkata: Pergilah engkau bersama
Tuhanmu, berperanglah dan kami akan berperang bersamamu.”
Wajah Nabi saw bersinar gembira. Beliau mendoakan Miqdad. Beliau juga meminta
pendapat Anshar, kelompok mayoritas yang hadir di situ. Berdirilah
Sa’ad bin
Mu’adz: “Demi ayah dan ibuku, ya Rasul Allah, sungguh kami sudah beriman
kepadamu, membenarkanmu, dan menyaksikan bahwa apa yang engkau bawa itu adalah
kebenaran dari Allah. Perintahkan kepada kami apa yang engkau kehendaki... Demi
Allah, sekiranya engkau perintahkan kami untuk terjun ke dalam lautan, kami
akan terjun ke dalamnya bersamamu. Mudah-mudahan Allah memperlihatkan kepadamu
yang menentramkan hatimu. Berangkatlah bersama kami dalam keberkahan dari
Allah.” Berangkatlah Rasulullah saw bersama sahabatnya meninggalkan kota
Madinah untuk menyongsong musuh yang bersenjata lengkap. Pada waktu itulah
turun ayat,
“Sebagaimana Tuhanmu mengeluarkan kamu dari rumahmu dengan kebenaran,
walaupun sebagian dari kaum mukminin membencinya.” (QS. Al-Anfal: 5).
Sikap
Miqdad dan
Mu’adz menunjukkan cinta setia mereka kepada
Rasulullah saw. Mereka segera menangkap kehendak kekasihnya –Rasulullah saw-
dan mereka mengesampingkan tujuan-tujuan duniawi demi membahagiakan Nabi saw
yang dicintainya. Di dalamnya juga ada tanda kedua dari cinta, yakni
pengutamaan kehendak Rasulullah saw di atas kehendak dan keinginan mereka.
Abdullah bin Hisyam bercerita, “Kami sedang bersama Nabi saw. Ia memegang
tangan Umar bin Khaththab.
Umar berkata:" Ya Rasul Allah, engkau lebih aku cintai dari apa pun
kecuali dari diriku sendiri".
Nabi saw berkata:" Tidak. Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, belum
sempurna iman kamu sebelum aku lebih kamu cintai dari dirimu sendiri".
Umar berkata lagi: "Sekarang memang begitu demi Allah. Sungguh engkau
lebih aku cintai dari diriku sendiri".
Nabi saw bersabda: "Sekaranglah, hai Umar.”
Taktala
Imam Ali bin Abi Thalib kw ditanya:" Bagaimana kecintaan
kalian kepada Rasulullah saw?
Ia menjawab: "Demi Allah, ia lebih kami cintai dari harta kami, anak-anak
kami, orang tua kami dan bahkan lebih kami cintai daripada air sejuk bagi orang
yang kehausan".
Kebenaran ucapan Imam Ali itu dibuktikan dalam peristiwa Uhud. Kepada seorang
sahabat perempuan Anshar diperlihatkan anggota keluarganya yang syahid di situ
–ayahnya, saudaranya, dan suaminya.
Ia bertanya: “Bagaimana keadaan Rasulullah saw?”
Orang-orang menjawab: “Ia baik-baik saja, seperti yang engkau sukai.”
Ia berkata lagi: “Tunjukkan beliau kepadaku supaya aku pandangi beliau.” Ketika
ia melihatnya, ia berkata: “Sesudah berjumpa denganmu, ya Rasul Allah, semua
musibat kecil saja!”
Atau ketika
Zaid bin Al-Datsanah ditangkap oleh kaum musyrikin. Sambil
tidak henti-hentinya menerima penganiayaan dan siksaan, ia diseret dari
Masjidil Haram ke padang pasir untuk dibunuh.
Abu Sofyan berkata
kepadanya: “Hai Zaid, maukah Muhammad kami ambil dan kami pukul kuduknya,
sedangkan engkau berada di tengah keluargamu?” Zaid melonjak, seakan-akan
seluruh kekuatannya pulih kembali. Ia membentak: “Tidak, demi Allah. Aku tidak
suka duduk bersama keluargaku sementara sebuah duri menusuk Muhammad.” Kata Abu
Sufyan: “Aku belum pernah melihat manusia mencintai seseorang seperti
sahabat-sahabat Muhammad mencintai Muhammad.”
"Ya Rasulullah, kelak jemputlah siapa saja dari ummatmu yang mencintai
Allah dan Rasulnya lebih dari cintanya pada apapun juga termasuk keluarganya
dan dirinya sendiri, jemputlah ia yang setia kepadamu, menjalankan sunnah yang
engkau tegakkan dan yang senantiasa menggumamkan namamu dengan ber-shalawat
kepadamu"